Istimewanya Ramadhan
Ramadhan itu:
1.
Bulan
suci
2.
Bulan
penuh ampunan
3.
Bulan
penuh berkah
4.
Bulan
istimewa
5.
Bulannya
orang-orang beriman
6.
Bulan
yang waaooow
Keutamaan Lailatul Qadar
Lailatul
Qadar adalah suatu malam yang penuh dengan keutamaan dan barokah. Allah
Subhanallahu wa Ta’ala Yang Maha Pemberi barakah telah menjelaskan hal itu
dalam surat Al Qadr (artinya):
“Dan
tahukah kamu apa malam lailatul qadar itu?. Yaitu suatu malam yang lebih baik
dari seribu bulan. Pada malam itu turunlah para malaikat dan ruh (malaikat
Jibril) dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh
dengan kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr: 2-5)
Sehingga
malam itu pun dipenuhi barakah yang berlimpah ruah, sebuah ibadah yang
dilakukan pada malam itu dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam lebih baik daripada ibadah yang dilakukan selama
seribu bulan selain Ramadhan. Tentu keutamaan yang amat besar ini akan membuat
hati yang jernih dan akal yang sehat terdorong dan berharap untuk dapat
meraihnya.
Kapan
terjadinya lailatul qadar?
Malam
lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan, sekali dalam setahun. Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ – يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ – فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
“Carilah
lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, jika ada diantara
kalian lemah, maka jangan sampai luput dari tujuh malam yang tersisa
(terakhir).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam
riwayat Al-Imam Muslim yang lain, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda:
… فَاطْلُبُوهَا فِى الْوِتْرِ مِنْهَا
… فَاطْلُبُوهَا فِى الْوِتْرِ مِنْهَا
….
maka carilah pada malam yang ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan
Ramadhan.”
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari: “Pendapat yang paling kuat
tentang terjadinya lailatul qadar adalah pada malam ganjil dari sepuluh malam
terakhir bulan Ramadhan dan terjadinya tidak menetap pada malam tertentu dalam
setiap tahunnya.”
Adapun
memastikan suatu malam dari bulan Ramadhan bahwa ia adalah malam lailatul qadar
(di tahun tersebut), maka membutuhkan dalil (yang shahih dan jelas) dalam penentuannya.
Namun malam-malam ganjil pada sepuluh terakhir itu hendaknya lebih dijaga
dibanding selainnya, dan malam keduapuluh tujuh hendaknya lebih dijaga lagi
daripada malam-malam ganjil selainnya yang dimungkinkan bertepatan dengan
lailatul qadar. (Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah li Al-Buhuts wa Al-Ifta`)
Apa
yang seharusnya dilakukan di malam tersebut?
Pertama:
Bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir melebihi kesungguhan pada
malam-malam selainnya, dalam hal shalat, membaca Al-Qur’an, berdo’a, dan
ibadah-ibadah yang lainnya. ‘Aisyah s menceritakan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
كَانَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
“Dahulu
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam jika memasuki sepuluh malam terakhir,
beliau menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya, serta mengencangkan
tali pinggangnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam
riwayat Al-Imam Ahmad dan Muslim: “Dahulu beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
bersungguh-sungguh pada sepuluh malam terakhir yang tidak sama kesungguhannya
dengan malam-malam selainnya.”
Kedua:
Menegakkan shalat tarawih dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala
dari Allah. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
yang menegakkan shalat pada malam lailatul qadar dengan penuh keimanan dan
hanya mengharapkan pahala dari Allah, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu.” (HR. Al-Jama’ah, kecuali Ibnu Majah).
Ketiga:
Membaca do’a sebagaimana yang diajarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
kepada ‘Aisyah radliyallahu ‘anha. ‘Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku menjumpai suatu malam bahwa itu
adalah malam lailatul qadar, apa yang harus aku baca pada malam itu? Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Ucapkanlah (berdo’alah):
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفوَ فَاعْفُ عَنِّي .
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفوَ فَاعْفُ عَنِّي .
“Ya
Allah! Sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf Maha Mulia lagi suka memaafkan, maka
maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi)
I’tikaf
I’tikaf
adalah usaha untuk senantiasa menetap di masjid disertai dengan menyibukkan
diri dengan ibadah (seperti menegakkan shalat-shalat sunnah disamping shalat
lima waktu, memperbanyak membaca Al Qur’an, memperbanyak dzikir, do’a, dan
istighfar), meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat (seperti mengobrol,
cerita, senda gurau dan semisalnya), dan tidak keluar dari masjid selama
i’tikaf, kecuali bila ada keperluan yang mengharuskan untuk keluar (seperti
buang hajat atau semisalnya).
‘Aisyah
radliyallahu ‘anha berkata: “Yang disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf adalah
tidak menjenguk orang sakit, tidak berta’ziyah, tidak menggauli dan mencumbu
istrinya, serta tidak keluar dari masjid untuk sebuah kebutuhan kecuali perkara
yang mengharuskan untuk keluar.”
Padahal
dalam agama Islam, menjenguk orang sakit dan berta’ziyah keduanya merupakan
perkara yang sangat dianjurkan. Namun demikian, ia menjadi gugur ketika
menjalankan ibadah i’tikaf di masjid. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya
perkara i’tikaf tersebut. Sehingga orang yang beri’tikaf hendaknya
bersungguh-sungguh menggunakan waktunya untuk bermunajat kepada Allah
Subhanallahu wa Ta’ala.
Ini
merupakan sebuah sunnah (ibadah) yang perlu kita hidupkan dan semarakkan,
karena hampir-hampir sunnah ini menjadi asing ditengah-tengah umat Islam.
Padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam selalu beri’tikaf di bulan
Ramadhan.
Abu
Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: “Dahulu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
Sallam beri’tikaf pada setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari, dan pada
tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Al Bukhari, Abu
Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Penutup
Semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala menerima
amalan-amalan ibadah kita semua, mengampuni dosa-dosa kita semua, dan
menggolongkan kita kepada golongan orang-orang yang bertaqwa dengan shaum
Ramadhan yang kita laksanakan. Amïn Yä Mujïbas Sä`ilïn..
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/?p=509